
DUH! MEDIA KITA (REFLEKSI PERINGATAN HARI ANAK NASIONAL)
Oleh : Sutardi
Kehadiran media sosial telah menjadi bagian hidup masyarakat modern saat ini. Coba hitung berapa hari kita mampu tidak menonton youtube, tiktok, atau media sosial sama sekali? Hidup tanpa media sosial bagaikan masak tanpa garam, hambar! Dulu, di era pertelevisian kita resah oleh tayangan televisi yang konsisten dalam hampir setiap episode senetronnya menampilkan kekerasan atau adegan percintaan, pemberitaanya bermuatan kriminalitas, dan dialognya tidak jarang menampilkan perdebatan yang kurang mendidik. Sekarang, media sosial mengambil alih peran televisi dalam menyebarkan konten negatif yang siap memporak-porandakan kesucian pikiran, akhlak, dan perilaku anak-anak kita.
Anak bermain gadget (Sumber: https://fkip.umsu.ac.id/cara-alternatif-mengajari-anak-tanpa-gadget/)
Konten tiktok yang berisi adegan, percakapan, atau tulisan bermuatan seks menyebabkan sebagian orang tua susah ketika anak bertanya karena tidak mengerti dengan konten yang mengarah ke syahwat tersebut. Selain mencemari sucinya pikiran anak-anak, konten model begini juga menyebabkan anak-anak “matang” sebelum waktunya. Tidak jarang kita mendengar berita seorang anak merudapaksa temannya, kasus pelecehan di kalangan anak-anak, atau kasus penyimpangan prilaku seksual. Sebagian orang tua ada yang menganggap hal tersebut sebagai “kecelakaan peradaban” yang tidak perlu dikawatirkan/ditanggapi secara serius. Pandangan ini “mungkin” ada benarnya, tapi bukan berarti kita tidak peduli. Kita harus ingat fenomena gunung es kasus narkoba, AIDS, dan sebaginya. Maka sangat penting bagi orang tua memberikan pendidikan seksualitas (bukan pendidikan seks) pada anak. Orang tua harus dapat mengarahkan perilaku seks yang benar, sehat dan lurus sejak dini. Pendidikan seksualitas pada anak adalah tanggung jawab orang tua sebagai bagian dari pendidikan anak secara keseluruhan.
Konten yang tidak kalah menghawatirkan adalah tayangan kekerasan. Konten berisi kekerasan sangatlah minim muatan edukasinya bagi anak. Ditambah lagi konten video pendek yang sarat bentakan, umpatan, makian serta film kartun yang tidak kalah sadisnya dari berita-berita tersebut. Tayangan-tayangan kekerasan yang direkam oleh indera anak akan menyebabkan hilangnya fitrah kelembutan pada anak. Anak yang terbiasa dengan kekerasan akan merasa membutuhkan kekerasan itu setiap kali melakukan sesuatu. Yang lebih berbahaya lagi bila anak menjadi terbiasa melakukan kekerasan secara sembunyi-sembunyi, mempraktekkan kekerasan terhadap adiknya, temannya bahkan orang tuanya. Saat ini, tidak sedikit anak yang melakukan bentakan terhadap orang tuanya, gurunya, atau orang yang lebih tua. Dalam hal ini, rumah harus berfungsi sebagai tempat yang menyejukkan bagi anak-anak, memupuk kelembutan, dan berkomunikasi tanpa kekerasan.
Pengagruh buruk media sosial yang lain adalah munculnya paham kebebasan berekpresi yang kebablasan. Dunia pendidikan saat ini sedang mendapatkan tantangan berat dengan sikap ”semau gue” para anak didiknya. Tidak jarang nasihat orang tua dan guru dibenturkannya dengan Hak Asasinya. Anak yang diberi nasihat untuk beribadah berdalih ”itu adalah urusan saya dengan Tuhan”, atau anak diminta belajar oleh gurunya berdalih ”itu masa depan saya sendiri”.
Kebebasan bukanlah barang tabu, tetapi di dalamnya juga ada esensi lain yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang kurang dibangun oleh media sosial. Media sosial hanya banyak menampilkan kebebasan berekspresi, tentu bukan hanya kebebasan berpendapat atau beropini, tetapi juga telah merambah dalam kebebasan berjoget-joget dengan berbagai gaya, berpakaian mini, gaya hidup, hingga pornografi yang dikamuflase seolah seni. Kebebasan berekspresi hendaknya diberikan rambu-rambu tanpa mendatangkan kemudharatan. Peran orang tua sangat penting dalam memberikan pemahaman pada anak bahwa kebebasan mempunyai sisi lain yaitu tanggung jawab sosial dan moral.
Media sosial juga telah menjadi candu yang memandu pola pikir, gaya berbahasa, bahkan pola bertindak bagi anak. Bahasa "gaul" bermunculan di kalangan anak. Kata "secara" digunakan tidak pada tempatnya dengan sengaja, “saya” dirubah menjadi akika, ditambah lagi ungkapan mene ketehe’, cenger, ciplokanong, sumpe lo, bucin, mager, friendzone, chemistry cinta dan istilah-istilah lain yang entah diciptakan oleh siapa. Media sosial juga telah menjadikan anak sebagai pemimpi-pemimpi kemewahan dan mengesampingkan pola hidup sederhana karena masifnya konten-konten berisi foya-foya dan hedonisme.
Orang tua dan pendidik, tentu tidak bisa memaksa untuk berbaur dengan bahasa anak-anak saat ini. Namun, sebagai orangtua dan pendidik kita punya tanggung jawab moril untuk tetap keep in touch dengan anak-anak kita, sehingga kita tetap hadir membersamai anak-anak bertumbuh, membersamai mereka melewati badai teknologi ini.
Bahaya terakhir yang dapat penulis ungkapkan (tentu masih banyak bahaya yang lain) adalah bahaya kesehatan. Salah satunya adalah obesitas pada anak. Hal ini terjadi karena anak-anak yang banyak menggunakan gadged akan sedikit melakukan aktifitas gerak, belum lagi bila pada saat menonton mereka ”ditemani” sepiring camilan atau jajanan. Bahaya yang lebih besar adalah penyakit Al Zheimer (penurunan daya ingat/pikun dini). Dr. Roberd Friedland, seorang dokter spesialis saraf Amerika menyebutkan bahwa sebagian besar penderita Al Zheimer adalah orang yang jarang melakukan aktifitas fisik dan mental yang bermanfaat, dan hanya banyak menonton media sosial atau televisi.
Akhirnya penulis mengucapkan ”Selamat Hari Anak Nasional". Semoga tulisan ini memberikan pencerahan kepada kita selaku orang tua dan pendidik untuk dapat memberikan fasilitas gadget secara bijaksana, terkontrol, dan seimbang antara penggunaan gadget dan interaksi di dunia nyata. Melindungi anak bukan hanya berupa perlindungan fisik, tetapi juga melindungi mereka dari contoh negatif, melindungi mental, emosional, dan spritualnya, menyuguhi anak dengan konten yang berkualitas dan mendidik, serta selalu berupaya memberikan mereka teladan terbaik dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Anak Terlindungi, Indonesia Maju.
Sambutan Kepala MTs Negeri 1 Sintang dalam Peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2024
https://youtu.be/d2cheJ3YT1M
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
PANCA MATRA PEMBELAJAR SEJATI
Oleh: Sutardi Kita sudah sering mendengar kutipan yang disampaikan oleh Imam Asy-Syafi'i: "Jika kamu tidak tahan terhadap letihnya belajar, maka kamu harus bersiap kelak menanggung let
MADRASAH DI ERA PENDIDIKAN GLOBAL
Oleh: Sutardi Peran pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan Islam telah lama diakui oleh masyarakat. Namun di saat yang sama pesantren sering pula dianggap sebagai institusi yang ba